The City As Seen from the Trees
Berikut adalah petikan yang diterjemahkan dari disertasi Laretna T. Adhisakti, 1997, “A Study on the Conservation Planning of Yogyakarta Historic-tourist City Based on Urban Space Heritage Conception, Kyoto University hal;85-92
4.4.2 Pilihan Tanaman dalam Seting Kota Bersejarah
[…] bentuk perkotaan juga menyatakan stratifikasi sosialnya terutama dapat diamati dari bangunan rumah tinggal. Bentuk-bentuk ini terdiri dari, pertama, bangunan yang dimiliki penguasa atau Sultan Yogyakarta, terdapat istana dan fasilitas pendukungnya seperti kebun wangi Taman Sari, alun-alun dsb.; kedua, bangunan rumah tinggal yang dimiliki keluarga bangsawan atau pejabat kerajaan, seperti bupati, pejabat istana; dan terakhir, rumah biasa dan fasilitas urban untuk orang biasa.
- Kraton Yogyakarta
Pola urban kota istana Yogyakarta distrukturkan oleh beberapa komponen […]:
- Pal Putih di persimpangan sekitar 1,5 km dari alun-alun utara.
- Jalan utama yang menghubungkan Pal Putih dan Kraton, yang dikenal sebagai Jalan Malioboro
- “Benteng Balurweti” dan 5 gerbang
- Kraton
- Panggung Krapyak
Urutan komponen-komponen ini melambangkan kelahiran, masa dewasa, dan kematian dalam kehidupan manusia Jawa. Namun demikian ada dua konsep dalam membaca simbol-simbol ini, KPH Puspodiningrat, seorang pangeran, menjelaskan bahwa Pal Putih disimbolkan sebagai kelahiran dan tumbuh di sepanjang jalan Malioboro. Pubertas berlangsung di Kraton dan menjadi ,masa dewasa di Panggung Krapyak. Sebaliknya, KPH Brongtodingingrat (1975), seorang pangeran, menyebutkan justru arah yang berlawanan, bahwa pertumbuhan manusia berasal dari Panggung Krapyak sampai ke Pal Putih. Pendapat ini disokong dalam buku “Tradisi Daerah Istimewa Yogyakarta” yang diterbitkan Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1976. Penelitian dalam kajian ini tidak bermaksud membahas tentang konsep yang berlawanan ini, tapi mencoba lebih memahami seting perkotaan dalam kaitannya dengan pilihan vegetasi di beberapa tempat tertentu.
Konsep yang terakhir menginterpretasikan sebagai berikut:
a) Manusia hanya “benih” ketika ia berada di kawasan utara Panggung Krapyak, dalam perkampungan bernama Kampung Wijen. Wijen dari kata wiji, dalam bahasa Jawa, yang berarti biji. Di jalan dari utara-selatan (tepat di poros imajiner utara-selatan) ditanam pohon Asem dan Tanjung. Asem (Tamarindus Indica dalam bahasa Latin) dalam bahasa Jawa berarti “nengsemake” atau cantik atau menarik. Tanjung (Mimusops Elengi, dalam Latin) berkonotasi dengan kata sanjung (Jawa), berarti bangga atas sesuatu. Phono-pohon tersebut punya bunga dan daun yang indah yang emlambangkan kecantikan wajah anak-anak dan kebanggaan orangtuanya.
b) Jalan yang sama mengarah ke Utara dan melewati gerbang selatan Benteng Balurweti yang bernama Plengkung Nirboyo atau lebih dikenal sebagai Plengkung Gading. Prosesi ini melambangkan periode peralihan dari kanak-kanak ke remaja. Di sepanjang jalan dari plengkung sampai ke alun-alun selatan, ditanam pohon Asem. Daun-daun muda di pohon ini disebut sinom, yang dalam bahasa Jawa berarti muda, baik, dan lembut.
c) Ada dua pohon Beringin yang dikelilingi tembol di tengah alun-alun selatan, bernama “Supit-urang” yang emnggambarkan citra dua tubuh rahasia yang tertutup tembok bata. Di sekeliling lapangan, ditanami pohon Kweni dan Pakel dan melambangkan anak-anak yang sudah menjadi dewas. Di pintu masuk alun-alun selatan ditanam dua pohon Beringin, yang dinamakan Wok.
d) Di bagian utara alun-alun selatan, berdiri gedung Sitihinggil yang dinaungi atap yang terbuat dari anyaman bambu. Di sisi kanan dan kiri bangunan ini ditanam pohon Gayam. Bentuk pohon yang besar memberi keteduhan dan bunganya wangi harum. Gayam adalah ayem dalam bahasa Jawa, yang berarti aman. Ini memberikan atmosfer kebahagiaan, kesenangan, keamana, dan menggambarkan kasih sayang antara anak laki-laki dan perempuan.
e) Gedung Sitihinggil Selatan sendiri merupakan tempat Sultan bertakhta. Dalam konteks kesakralan, tempat ini menyimbolkan pasangan dalam upacara pernikahan. Daerah ini ditanami pohon Mangga Cempora dan Soka. Tanaman ini punya bunga-bunga berwarna merah dan putih dalam setiap satu tangkainya.
f) Dari Sitihinggil ke utara di Kemandungan Selatan ditanam beragam pohon seperti Kepel, Mangga, Cengkir Gading dan Jambu Dersana. Pengaturan ini menyimbolkan:
f.1) Kata kemandungan (bahasa Jawa) punya kesamaan semantik dengan kata ngandung (bahasa Jawa) yang artinya kehamilan.
f.2) Bahasa Jawa untuk Mangga adalah Pelem yang artinya pada gelem¸ semua harapan mereka, baik si perempuan dan laki-laki.
f.3). Kepel berasal dari kata kempel/kembal (bahasa Jawa) berarti kesatuan keinginan, benih, perasaan, dan cita-cita.
f.4) Jambu Dersana dari kata kadersan sihing sesama, berarti benih manusia adalah cinta antara suami istri.
f.5) Cengkir Gading, sejenis pohon palem, biasanya digunakan untuk upacara tujuh bulanan.
g) Di bagian utara Kemandungan ada gerbang Gadung mlati ke Kemagangan. Jalur ini dirancang dari ruang yang sempit dan semakin meluas. Urutan ini menggambarkan proses kelahiran bayi, di mana bayi akan mulai “magang” sebagai manusia. Dalam pengertian ini magang dalam bahasa Jawa punya kedekatan makna dengan Kemagangan. Arti lain dari magang dalam bahasa Jawa adalah kedatangan. Ini terkait dengan penataan ruangan di area yang dekat dengan dua dapur istana, yang disebut Gebulen dan Sekullangen yang melambangkan makanan yang diberikan pada bayi. Bermacam jenis pohon buah di tanam di ruang ini seperti, jambu air, kepel, kelapa, belimbing, lingir, sawo kecik, dan beragam jenis kanthil.
h) Setelah Kemagangan, berlanjut ke pusat Kraton yang dibatasi oleh Gerbang Kemagangan di Selatan dan Gerbang Danapranata di Utara. Kadaton atau pusat istana menyimbolkan kedewasaaan manusia.
i) Pergerakan dari Kadaton ke Pal Putih melambangkan manusia yang memusatkan pikirannya ke bermacam tantangan dan godaaan. Hambatan pertama adalah Alun-alun Lor, sebuah ruang besar dengan skala nir-manusia di mana orang akan merasa sangat mungil dan sepi di ruangan ini. Persimpangan di alun-alun Lor menjadi hambatan kedua di mana orang tidak boleh berbelok ke kanan atau kiri. Godaan lain akan dijumpai disepanjang poros utara-selatan, seperti pasar Beringharjo, tempat dengan bermacam benda, makanan enak, dll. Kemudian Kepatihan, kantor Kepala Menteri , sebuah tempat dengan kepangkatan yang tinggi. Seorang yang memusatkan pikirannya tidak dibolehkan mengkonsumsi benda ragawi dan memegang kekuasaan resmi. Jika ia berhasil dengan perjalanan ini, ia akan tiba di Pal Putih yang melambnagkan menyatunya manusia dengan Tuhan.[…] Pohon di sepanjang poros selatan-utara berturut-turut adalah Asem, di depan benteng Belanda dan Kepatihan ditanam pohon Beringin, Asem dan Alamanda.
Vegetasi di Kadaton dan di utara Kraton dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Alun-alun Utara secara filosofis adalah tempat untuk mempertunjukan kehormatan kraton dan secara fungsional adalah tempat pertemuan raja dan rakyatnya, tempat upacara, tempat berkumpul dan tempat berlatih. Di tengah lapangan ada dua pohon Beringin yang dikelilingi tembok, namanya Kiai Dewa-Daru dan Kiai Djana-daru. Di pinggir-pinggir alun-alun ada 64 pohon Beringin yang ditanam setiap 24 m.
b) Pagelaran adalah ruang transisi dari alun-alun utara dan Sitihinggil utara, tempat di mana patih bertemu dengan staf-nya di hadapan Sultan. Ada Dua poho Beringin di sisi kiri dan kanan Pagelaran, dan ada 6 pohom gayam yang ditanam sepanjang jalan ke Sitihinggil.
c) Sitihinggil, yang artinya dataran tinggi, 1,5 m lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Ia adalah takhta Sultan dan untuk upacara kerajaan. Empat jenis vegetasi ditanam di pekarangannya, yaitu:
c.1. Pohon Soka. Ini melambangkan perlindungan dari binatang liar di mana ada adu banteng di alun-alun utara. Dua pohon soka ditanam di timur dan barat Sitihinggil.
c.2. Pohon Kepel Lanang. Ada 18 pohon dan ditanam secara simetris di sekitar Sitihinggil. Pohon-pohon in melambangkan bentuk monumental dan simbol perlindungan dari kericuhan dalam upacara kerajaan.
c.3. Pohon Jambu Dersono di bagian barat Sitihinggil.
c.4 Pohon Kemuning. Penampilan fisik pohon ini sangat halus dan menjadi latar dari Sitihinggil. Ini adalah daerah kesucian dan ketenangan pikiran. Dengan menanam poho kemuning, tujuan ini diharapkan tercapai.
d) Di selatan Sitihinggil, melewati Gerbang Brajanala, ada Kemandungan Utara dengan bangunan utama Ponconiti, pengadilan. Di kiri dan kana gerbang ditanam pohon kepel. Pohon lainnya adalah tanjung, cengkir gading, dan keben.
e) Ruangan selanjutnya adalah kawasan Sri Manganti yang terdiri dari beberapa bangunan, gedung Sri Manganti, gedung Trajumas, gerbang Sri manganti dan beberapa banguna kecil lain di sepanjang sisi tembok. Sebuah pohon khusus dengan buah yang wangi ditanam di sini disebut jambu telampok arum, yang menyimbolkan bahwa manusia harus berkata bijak, atau “berbau harum” seperti pohon tersebut. Pohon lainnya ada mangga, jambu dersono, kepel, dan kemuning.
f) Di tengah Kadaton, pusat istana, pohon sawo kecik memadati ruang terbuka. Pohon jenis ini dipilih untuk ditanam secara tertata di halaman depan pendopo rumah tradisional. Atmosfer di bawah pohon ini teduh, namun tetap etrang, karena sifat daunnya yang terang di bagian bawah. Pohon Kanthil yang berbau wangi juga ditanam di sekitar ruang kerja Sultan.
Pengambaran di atas memperlihatkan hubungan antara penataan spasial dengan simol dalam pemilihan tanaman. Di dalam ruang dengan status yang demikian tinggi dalam kehormatan kerajaan, simbol kekuasaan yang dikontraskan dengan kelembutan digabungkan dengan memilih tanaman monumental dan pada saat yang bersamaan pohon yang lembut. Ini dimaksudkan agar orang dapat mengoptimalkan keseimbangan hidup, serta menyeimbangkan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup. Sepertui yang tertulis dalam lagu Jawa kuno yang berjudul Mijil:
“Ing Mataram, betengira inggil
ngubengi kadathon
plengkung lima, mung papat mengane
jagang jero tayonita wening,
tur pinacak suji
gayam turut larung”
(Di Mataram, tembok tinggi mengitari istana, ada lima gerbang, namun hanya satu yang terbuka, selokan dalam dengan air yang jernih, tertata, pohon Gayam di sepanjang kanal).